Monday, January 30, 2006

HIDUPMU AKAN BERUBAH...


Temanku tidak punya banyak waktu lagi. Ketika kami makan siang bersama, sambil lalu ia mengatakan bahwa ia dan suaminya sedang berpikir2 untuk mulai "membentuk keluarga". Yang ia maksudkan adalah jam biologisnya mulai berdetak, dan situasi ini memaksanya untuk menimbang2 prospek menjadi seorang ibu.
"Kami sedang mengadakan survei," katanya, setengah bercanda. "Apa menurutmu aku mesti punya bayi?"
"Punya bayi akan mengubah hidupmu," kataku dengan hati2, berusaha supaya nada bicaraku terdengar biasa saja.
"Aku tahu," katanya. "Tidak bakal bisa lagi tidur sampai siang di hari2 sabtu, tidak ada lagi liburan2 mendadak. "Sebenarnya yang kumaksud sama sekali bukan itu. Kupandangi temanku itu, sambil mencoba memutuskan, apa yang mesti kukatakan padanya.
Aku ingin ia tahu hal2 yang takkan pernah dipelajarinya dalam kelas2 untuk ibu hamil. Aku ingin memberitahunya bahwa luka2 fisik akibat melahirkan bisa sembuh, tapi menjadi seorang ibu akan meninggalkan luka emosional yang begitu dalam, yang akan membuat hatinya rapuh untuk selamanya.
Aku ingin mengingatkan dia bahwa setelah mempunyai anak, setiap membaca berita di surat kabar ia akan berpikir, "Bagaimana kalau yang seperti itu terjadi pada anakku?" Setiap kecelakaan pesawat terbang, setiap peristiwa kebakaran, akan selalu menghantuinya. Dan kalau melihat foto2 anak2 yang kelaparan, ia akan bertanya2, adakah yang lebih menyedihkan daripada melihat anakmu sendiri mati kelaparan.
Kupandangi kuku2nya yang dimanikur rapi dan setelannya yang modis, dan terlintas di benakku bahwa betapa pun elegannya dia, menjadi seorang ibu akan membuatnya kembali pada insting primitifnya, seperti seekor beruang yang melindungi anaknya. Panggilan panik "Bu..." dari si anak akan membuatnya langsung melemparkan souffle-nya atau kristalnya yang paling bagus, tanpa ragu sedikit pun.
Aku juga merasa harus memperingatkannya bahwa berapa lama pun yang telah ia investasikan dalam kariernya, statusnya sebagai ibu akan menjadi penghalang baginya, secara profesional. Bisa saja ia menitipkan si anak sebelum berangkat, tapi suatu hari nanti, saat menghadiri rapat penting, ia akan teringat wangi bayinya yang manis. Ia akan terpaksa menggunakan setiap ons kedisiplinan untuk menahan diri supaya tidak lari pulang ke rumah, hanya untuk memastikan anaknya baik2 saja.
Aku ingin temanku ini tahu bahwa keputusan2 yang diambilnya setiap hari tidak lagi akan merupakan suatu rutinitas. Keinginan seorang anak lelaki umur lima tahun untuk masuk ke toilet pria, bukan toilet wanita, di restaurant akan menjadi dilema besar. Di sana, di tengah suara berisik nampan berkelontangan dan anak2 yang menjerit2, pertimbangan mengenai kemandirian dan jenis kelamin mesti diperdebatkan dengan ketakutan kalau2 ada pelaku pelecehan anak di dalam toilet sana. Betapa pun tegasnya ia biasa mengambil keputusan di kantornya, ia akan senantiasa ragu2 saat mengambil keputusan dikantornya, ia akan senantiasa ragu2 saat mengambil keputusan sebagai ibu.
Saat memandangi temanku yang menarik ini, aku ingin meyakinkan dirinya bahwa kelebihan berat badan akibat kehamilan lambat laun akan hilang, tapi ia takkan pernah merasa sama seperti sebelumnya. Kehidupannya, yang sekarang begitu penting, tidak akan dianggapnya terlalu berharga lagi, begitu ia mempunyai anak. Ia akan bersedia menyerahkan nyawanya seketika, demi menyelamatkan anaknya, tapi ia juga akan mulai berharap diberi umur lebih panjang - bukan untuk mewujudkan mimpi2nya sendiri, melainkan untuk melihat anak2nya mewujudkan impian2 mereka. Aku ingin ia tahu bahwa bekas operasi ceasar atau stretch-mark yang mengilat akan menjadi tanda kehormatan baginya.
Hubungannya dengan suaminya juga akan berubah, tapi bukan dalam cara2 yang ia perkirakan. Kalau saja ia mengerti, betapa ia akan lebih mencintai pria yang dengan hati2 membedaki bayinya atau tak pernah ragu mengajak anaknya bermain. Kurasa ia harus tahu bahwa ia akan jatuh cinta lagi pada suaminya untuk alasan2 yang saat ini pasti terasa sangat tidak romantis baginya.
Aku ingin menggambarkan pada temanku kebahagiaan yang meluap ketika melihat si anak belajar memukul bola dalam permainan bisbol. Aku ingin merekam untuknya suara tawa yang keluar dari mulut bayi yang baru pertama kali menyentuh bulu halus seekor anjing. Aku ingin ia merasakan kebahagiaan yang begitu dalam, hingga rasanya menyakitkan.
Sorot mataku temanku yang penuh tanda tanya membuatku sadar bahwa mataku berkaca2. "Kau takkan pernah menyesalinya," kataku akhirnya. Lalu kuulurkan tanganku dan kuremas tangan temanku. Kupanjatkan doa untuknya dan untuk diriku sendiri, serta untuk semua wanita yang dengan tertatih2 tengah melangkah menuju panggilan paling suci di dunia ini.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home