Monday, January 30, 2006

AIR MATA AYAHKU ...






Ayahku tipe pria pendiam yang bisa diandalkan. Semasa aku menginjak dewasa, jarang sekali aku melihat ayah marah atau meninggikan suara dalam perdebatan. Ia tak pernah menyampaikan perasaan sayangnya padaku, karena ia memang bukan tipe seperti itu.
Aku ingat suatu kali aku menangis dan terus menangis, akhirnya ayah datang dan menghiburku, beliau menyampaikan pendapatnya, bahwa kalau kita dengan sengaja mencari perhatian supaya ada yang mengatakan "Aku sayang padamu", kalimat itu jadi kehilangan makna dan tidak akan banyak menghibur.
Namun jauh dilubuk hati kecilku, aku yakin bahwa Ayah menyayangiku dan selama tahun2 yang kulalui menjelang dewasa, tak pernah sekali pun kulihat ia menangis.
Bertahun2 kemudian, anak laki2ku pertamaku lahir. Cucu pertama Ayah. Masih merasa lelah dan beku oleh gelombang emosi, perasaan bahagia dan putus asa yang berbaur jadi satu, aku ingin sekali tinggal lebih lama di rumah sakit.
Keesokan harinya, menjelang sore aku berbaring bersama bayiku yang tertidur. Aku mencoba tidur, tapi tak bisa. Aku terperanjat mendengar suara ketukan pelan. Perawat melongok kedalam. "Ini memang bukan jam berkunjung," katanya, "tapi ada tamu istimewa untuk Anda." Lalu ia pergi.
Ayahku berdiri di ambang pintu, tampak sangat canggung berada disitu. Ia memmbawa bunga anyelir biru dan sebuah vas putih berpita biru. Ia masih mengenakan mantel kerjanya yang lusuh dan kotor.
Ia menatapku malu2, sambil masuk perlahan2 ke dalam kamar. Mata kami bertemu. Kulihat setitik air mata dimatanya. Lalu air mata itu bergulir pelan dipipinya. Disusul setetes air mata lagi. Dan setetes lagi.
Aku belum pernah melihat ayahku menangis - emosi tanpa kata itu sangat menggugah perasaan. "Mau melihat cucu Ayah?" tanyaku, berusaha menyembunyikan perasaan canggungku sendiri. Tapi tak ada gunanya. Mataku juga sudah penuh air mata.
Lalu kami sama2 menangis, sementara Ayahku dengan takut2 melangkah semakin dekat dan menyodorkan bunga yang dibawanya padaku. Perlahan2 ia menjulurkan leher untuk melihat si bayi - sambil tetap menjaga jarak. Ia hanya sebentar menjengukku. Lalu ia pergi lagi.
Meski sedikit sekali kata2 yang diucapkan pada kunjungan itu, kedatangan Ayahku membuatku sangat tersentuh. Aku tahu, tanpa keraguan sedikit pun, bahwa Ayah menyayangiku dan merasa bangga terhadapku. Air matanya akan senantiasa kukenang di hatiku...

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home